Ketika Pasangan Tak Lagi Ada

Ketika Pasangan Tak Lagi Ada

Annissa Sagita - detikFinance
Kamis, 24 Nov 2016 06:23 WIB
Foto: Istimewa
Jakarta - Tak ada seorang pun yang menginginkan musibah, namun ketika hal itu terjadi, tak seorang pun yang mengira. Musibah yang terjadi kerap kali membawa akibat yang tidak menyenangkan terhadap kehidupan seseorang, dalam hal ini menimpa kondisi keuangan. Musibah selalu membayangi dalam kehidupan dan menjadi bagian dari aktivitas sehari-hari.

Meski demikian, toh kita selalu menjalani hidup hari demi hari tanpa merasa takut, benar kan? Hal ini tentunya karena kita tahu bagaimana cara meminimalisir risiko, dan berhati-hati dalam membuat keputusan dalam setiap langkah hidup.

Demikian juga seharusnya dengan hal keuangan. Karena musibah merupakan salah satu hal yang datangnya tidak dapat diduga-duga dan tidak dapat dihindari, maka sudah seharusnya kita juga mempersiapkan hal-hal apabila musibah datang menyapa dan akibatnya yang berdampak kepada kondisi keuangan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bagi para wanita salah satu musibah yang mungkin menimpa adalah ketika pasangan tiada (meninggal dunia). Contoh kasus, apabila seorang wanita yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga kehilangan suaminya yang merupakan pencari nafkah utama, kehilangan pasangan tentu akan berdampak sangat besar ke kondisi ekonomi keluarga.

Apalagi jika pasangan tersebut sudah memiliki anak. Bagaimana dengan perencanaan dana pendidikan anak, atau bahkan sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari apabila tulang punggung keluarga sudah tidak ada?

Tentunya kehidupan tetap harus berjalan demi anak: kebutuhan gizi dan pendidikannya. Dalam perencanaan keuangan, manajemen risiko memiliki kedudukan penting sebagai prioritas yang harus didahulukan sebelum memulai berinvestasi. Salah satu contoh manajemen risiko adalah dengan berasuransi jiwa.

Asuransi jiwa bukan berarti melindungi jiwa seseorang, namun melindungi ahli waris terhadap risiko ekonomi yang mungkin menimpa apabila pencari nafkah utama/tulang punggung keluarga meninggal dunia.

Asuransi jiwa akan memberikan uang pertanggungan (UP) yang akan diterima ahli waris (istilah di polis: penerima manfaat) apabila tertanggung (dalam hal ini pencari nafkah utama) meninggal dunia* (*sesuai kondisi yang telah ditetapkan di dalam polis). Uang pertanggungan ini dapat digunakan oleh ahli waris untuk bertahan hidup hingga mandiri.

Kembali ke contoh kasus di atas, apabila suami/ayah sebagai pencari nafkah utama memiliki asuransi jiwa, maka istri yang berprofesi sebagai ibu rumah tangga dapat bertahan hidup dari uang pertanggungan asuransi jiwa ketika pasangan meninggal dunia.

Inilah pentingnya memiliki asuransi jiwa murni apabila telah ada tanggungan di keluarga Anda. Tanggungan berarti orang yang bertahan hidup dari penghasilan orang lain: istri sebagai ibu rumah tangga, dan anak.

Namun Anda juga harus berhati-hati dalam memilih asuransi jiwa. Pilihlah produk asuransi jiwa murni yang UP-nya sesuai dengan kebutuhan keluarga, dan preminya terjangkau oleh kemampuan pencari nafkah utama.

Selain itu, tidak semua orang perlu dilindungi dengan asuransi jiwa, hanya mereka sebagai pencari nafkah utama/tulang punggung keluarga/mereka yang memiliki tanggungan. Tanyakan kepada diri Anda: apabila Anda tidak ada, bagaimana keluarga akan bertahan hidup? Jika jawabannya mereka akan sulit bahkan tidak bisa bertahan hidup secara ekonomi tanpa Anda, maka Anda butuh asuransi jiwa. Diskusikan dengan pasangan Anda mengenai asuransi jiwa ini.

Selain itu, manajemen risiko juga menganjurkan untuk memikirkan rencana cadangan apabila pencari nafkah utama tidak ada. Rencana cadangan yang dimaksud adalah bagaimana caranya pasangan yang ditinggalkan memiliki penghasilan untuk bertahan hidup atau untuk perencanaan ke depan, seperti perencanaan pensiun dan perencanaan pendidikan.

Misalnya, kembali bekerja dengan mengontak relasi dari pekerjaan dahulu, menjadi freelancer, atau membuka bisnis kecil-kecilan. Apalagi ketika menjadi orangtua tunggal, sulit sekali untuk membagi waktu antara waktu untuk diri sendiri, waktu untuk bersama anak dan waktu untuk mencari penghasilan. Dengan duka akibat kehilangan yang dialami, rencana saat ini akan menjadi sangat penting ketika musibah terjadi. Sekecil apa pun keterampilan yang dimiliki dan sesedikit apapun penghasilan yang diterima bisa sangat berguna apabila risiko dari musibah menimpa.

Tidak ada yang menyukai bicara soal musibah. Hal tersebut seperti tabu dalam masyarakat kita, karena dianggap 'memanggil/mendoakan yang tidak-tidak'.

Namun mengambil hikmah dan pelajaran tidak harus dari pengalaman sendiri, tapi juga bisa dari pengalaman orang lain bukan? Penyesalan juga akan selalu datang terlambat. Namun tidak ada kata terlambat untuk memulai perencanaan keuangan dan manajemen risiko mulai dari saat ini. (wdl/wdl)